Prof. Uli Kozok, lewat Tulisannya diberanda Facebook Uli Kozok, Menuliskan Adanya "Melayu Proto (Tua)" dan "Melayu Deutro (Muda)" merupakan sebuah teori yang muncul pada akhir abad ke-19 dan berdasarkan pada penelitian para antropolog Eropa seperti Sarasin, Loeb, dan von Heine-Geldern. 

Mereka mengusulkan teori adanya dua gelombang pendatang ke kawasan Nusantara: Gelombang pertama berasal dari Yunan (Cina) dan keturunannya tinggal di pedalaman seperti Batak, Dayak, dan Toraja, dan gelombang kedua termasuk suku Melayu, Jawa, Bali dan sebagainya. 

Ketika pertama kali dikumandangkan, teori tersebut sudah diragukan kebenarannya, dan semenjak tahun 1970an teori Melayu Tua dan Melayu Muda boleh dikatakan sudah tidak ada penganutnya lagi – kecuali di Indonesia dan di Malaysia.

Walaupun sekarang sudah tiada lagi peneliti yang percaya teori dua gelombang itu, buku-buku sejarah untuk anak-anak Indonesia tetap mencetak teori yang sudah usang tersebut. Lihat misalnya foto di bawah sebagai contoh bahwa teori kedaluwarsa kini masih populer sekali bahkan di kalangan akademisi Indonesia.

Penelitian di bidang genetika menunjukkan bahwa penduduk Indonesia memiliki persamaan gen dengan saudaranya di daratan Asia Tenggara, dan para peneliti bahasa pun menemukan bahasa-bahasa di Nusantara dengan adanya substratum Austroasiatik. Masalahnya, bahasa yang ada substratum Austroasiatik tersebut tidak hanya terdeteksi pada bahasa suku di pedalaman seperti Dayak dan Kerinci, tetapi ada pula pada bahasa Aceh. Sementara bahasa pedalaman seperti Batak tidak memiliki substratum Austroasiatik.

Dengan majunya penelitian di bidang genetika dan dengan bertambahnya penelitian arkeologi maka suatu saat kita akan memperoleh gambaran yang lebih akurat mengenai tempat asal-usul bangsa Indonesia.

Yang jelas, gambaran yang akan kita peroleh bukan lagi satu atau dua gelombang melainkan gambaran yang jauh lebih kompleks dengan gelombang penyebaran yang bukan hanya dari utara ke selatan melainkan dari segala penjuru. Hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia sudah dari dahulu kala menjadi pelayar yang unggul, dan bukan hanya penerima budaya canggih yang berasal dari luar. 

Gambaran yang kita peroleh dari ilmu genetika menjadi semakin jelas dan entah suatu saat bila dipadukan dengan penelitian linguistik dan arkeologi akan membuahkan teori yang serba baru pula. Yang jelas, dalam teori yang bakalan tercipta pasti tidak ada istilah "proto" dan "deutro", dan seharusnya penulis buku teks di Indonesia berhenti menyesatkan anak-anak kita dengan teori kedaluwarsa tersebut. 

Belakangan ini ahli bahasa Karl Anderbeck membahas teori Melayu Tua tersebut di dalam tulisan "Malay Dialects of the Batanghari River Basin (Jambi, Sumatra)" yang dapat diunduh secara gratis di https://www.sil.org/resources/archives/9245

Anderbeck menunjukkan bahwa bahasa-bahasa yang ada di Sumatera bagian selatan termasuk Jambi seperti Kubu, Kerinci dsb. semuanya merupakan dialek Melayu yang berasal dari sumber yang sama. Hanya, disebabkan oleh isolasi di pegunungan, Kerinci mengalami perubahan fonologi dan kosa kata. Bahasa Jambi Hilir sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa Jawa sementara pengaruh Jawa di Jambi Hulu semakin berkurang dan di Kerinci hampir tidak ada.

Setahu saya, penelitian genetika belum dilakukan di Kerinci. Akan tetapi karena suku Kerinci secara ras tidak berbeda jauh dengan suku di sekitarnya maka dari segi genetika pun kerinci dipastikan tidak terlalu berbeda.
Lebih baru Lebih lama