Dalam tulisannya yang di unggah di group Peduli Adat sakti alam kerinci, Bopi cassia putra, sejarawan kerinci ini menuliskan, Dalam mempelajari sejarah Alam Kerinci, kita tidak bisa melepaskan diri dari pemahaman kita terhadap adat dan pusaka yang ditinggalkan nenek moyang kita purboukalo sampai kepada apa yang kita terima sampai saaat ini. Adat dengan Pusko di Alam Kerinci tersebut dikenal sebagai: Negeri yang 4, Adat yang 4, Undang yang 4, Kata yang 4, atau Hukum 4 x4. Kemudian ditambah lagi dengan Waris yang 3 dan Sko yang 3 Takah.
Sehubungan dengan judul di atas, yakni Latih nan Tujuh, maka erat hubungannya dengan Negeri yang 4. Negeri yang empat adalah bentuk pemukiman, beserta tatanan yang ada di dalamnya. Sesuai dengan urutannya Negeri yang 4 adalah sbb: 1). Koto, 2). Luhah/ Lurah, 3). Kampung dan 4). Dusun.
Koto: adalah bentuk pemukiman pertama kali. Awal nenek moyang “melatih menaruko”. Koto ini umumnya terletak di dataran tinggi. Dasar lembah Kerinci ratusan tahun lalu belum bisa ditempati, karena mungkin masih ditutupi permukaan air, ataupun berawa-rawa yang masih dalam. Ada suatu terori yang dikembangkan oleh ilmuwan dari ITB, yang mensurvey lembah Kerinci pada tahun 80an, menyatakan bahwa Lembah Kerinci lebih kurang 5 juta tahun yang lalu adalah sebuah danau kawah gunung berapi raksasa dan disaat terjadi gempa luar biasa jutaan tahun lalu, danau tersebut bocor. Itulah yang menjadi aliran Batang Merangin sekarang.
Sangatlah logis pada ratusan tahun lalu nenek moyang orang Kerinci mulai melatih dan bermukim di tempat yang tinggi, di “Koto” bersama kelompok kecilnya. Mungkin saja terdiri dari beberapa keluarga saja. Setelah pemukim bertambah banyak, keadaan lingkungan semakin membaik, dalam proses evolusi lingkungan yang berubah, orang mulai pindah ke bawah lembah. Dalam kata-kata adat disebut “batang lah berlareh”, di mana permukaan air rawa-rawa mulai turun, tanah yang lebih tinggi di dasar lembah mulai tampak. Orang-orang yang turun ini menempati lurah-lurah, dan sudah mulai membuat kelompok yeng lebih jelas. Mungkin ini awal mula “Lurah atau Luhah atau Kelbu” terbentuk. “Luhah yang berpenghulu”.
Dalam perjalanan waktu puluhan, mungkin saja ratusan tahun, air semakin turun, maka tanah mulai “bakampoh”, atau mulai mengeras dan menyatu. Lurah yang terpisah-pisah ini mulai bergabung menjadi kampung. “Kampung ba Tuo (berketua)”.
Dalam proses perkembangannya, kampung ini menjelma menjadi dusun. Orang sudah ramai, baik dari generasi awal, maupun kedatangan kelompok-kelompok baru yang bergabung. Dusun adalah bentuk pemukiman orang Kerinci yang terkomplit dan termaju. Sudah beradat berlembaga, sudah berlarik barjajo, sudah berpandam kuburan dan bertepian mandi, sudah bermesjid bergelanggang”.
Kembali ke pokok tulisan. Penyebutan Latih nan Tujuh memang sudah lazim dikenal masyarakat Kerinci dahulunya, dan bisa dibuktikan dengan keberadaan tokoh-tokoh awal yang mendiaminya yang ditempatkan di sana, dan penyebutannya masih hidup di kerapatan-kerapatan adat yang ada di Alam Kerinci. Perihal tempat dan figurnya ada disebut dalam tembo-tembo yang tersebar di dusun-dusun di Kerinci seperti tembo yang ada di dusun-dusun dalam kemendapoan Pegawai Rajo Pegawai Jenang di Sungai Penuh, kemendapoan Rawang, Kemendapoan Kemantan, Kemendapoan Depati VII, Kemendapoan Semurup, Kemendapoan Hiang dan sebagainya.
Dalam kepercayaan orang Kerinci, baik seperti “tutur”, maupun tertulis di dalam “tembo” nenek moyangnya adalah berawal dari perintis atau “pelatih penaruko” pemukiman awal. Beliau-beliau tersebut diyakini adalah “orang sakti orang keramat” dan pembawa agama Islam ke Kerinci dan peletak dasar-dasar kemasyarakatan berupa hukum adat dan membentuk kerapatan adat pertama kali di Alam Kerinci.
Latih nan Tujuh tersebut adalah sebagai berikut disebut “Tigo di kiri tigo di kanan satu di hilir”.
1. Latih Koto Payung Tinggi di Pendung Semurup. Awal mula ditunggu Ninek Intan Cahayo. Para zuriatnya terutama menyebar di dusun-dusun yang ada dalam Ulayat Tanah Persembah, Depati Kepalo Persembah Tigo Luhah Semurup Dusun XI, juga ada ke Tanah Sekudung Siulak.
2. Latih Koto Talang Manio di Kemantan Penawar Tinggi, atau di sekitaran Sungai Medang. Awal mula ditunggu Ninek Siak Rajo. Zuriatnya menyebar di dusun-dusun dalam ulayat Kemendapoan Kemantan, Kemendapoan Penawar, Kemendapoan Hiang dan Kemendapoan Semurup dan beberapa dusun di Kemendapoan Tiga Helai Kain dan kemendapoan lain. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Tambo Kerintji by Petrus Voerhope 1941. “TK. 140, TK. 141, TK. 142. Tembo disimpan oleh Depati Moeda, Doesoen Kemantan Darat dan TK. 143. TK. 144. Disimpan oleh Depati Penawar Radjo Doesoen Air Angat.
3. Latih Koto Jelatang Tinggi di Hiang Tinggi. Awal mula ditunggu Ninek Indar Jati. Zuriatnya bersebar di dusun-dusun dalam Kemendapoan Hiang, sampai kepada beberapa dusun yang ada dalam Kemendapoan Kemantan dan Kemendapoan Tiga Helai Kain, maupun kepada Kemendapoan lain.
4. Latih Koto Limau Serin/ “limau Sran”, yang saat ini lebih dikenal dengan bukit telasih. Awal mula ditunggu oleh Ninek Makhudum Sati di ateh Dusun Semurup. Para zuriatnya menyebar dalam dusun-dusun di Kemendapoan Depati VII dan Kemendapoan Rawang. Bahkan ada yang tersebar kepada Kemendapoan Kemantan, Belui dan sebagainya.
5. Latih Koto Bingin Tinggi. Di atas Sungai Liuk. Pada awalnya ditunggu Ninek Siak Alim, atau Ninek Telago Undang. Zuriatnya banyak tersebar menjadi dusun-dusun dalam Kemendapoan Rawang berikut Pesisir Bukit.
6. Latih Koto Pandan. Ditunggu oleh Siak Lengis. Lokasinya di atas Kota Sungai Penuh sekarang. Zuriatnya tersebar di dalam dusun dalam Kemendapoan Pegawai Rajo Pegawai Jenang, atau Depati nan Bertujuh Tanah Mendapo Sungai Penuh. Anak keturunan Siak Lengis ada yang menyebar ke Pesisir Bukit, ke Rawang (Koto Bingin Tinggi) serta ke Hiang dan ke Tebing Tinggi.
7. Latih Koto Jerangkang Tinggi di Muak sekarang. Ditunggu Ninek Siah Rao, atau disebut juga Segindo Siah Rao, atau disebut juga Segindo Banatih. Zuriatnya banyak tersebar di dusun-dusun sekitar Danau Kerinci dan ke Kemendapoan Tiga Helai Kain.
Salah satu karya dari para tokoh-tokoh ini adalah terbentuknya “Hamparan Tuo” di Hiang Tinggi tempat mereka duduk bermusyawarah dalam bentuk duduk adat. Dalam duduk rapat adat tersebut adalah membicarakan persoalan pengembangan agama islam dan peletakkan dasar-dasar bermsyarakat di Alam Kerinci, setelah masyarakat Kerinci melewati Zaman Sigindo, atau “Zaman Serampau” yang berakhir pada abad 15 M.
Tulisan ini mereferensi dari berbagai sumber, terutama kepada diskusi dari para pemangku adat yang kompeten, mereka yang pernah membuka dan membaca tembo dari sebahagian besar tembo yang masih tersimpan di pelbagai dusun di Kerinci. Kajian terhadap tembo tersebut juga merujuk kepada “ico pake” masyarakat Kerinci dalam bentuk petatah petitih yang masih hidup, maupun dalam “bentuk duduk adat” yang masih hidup sampai saat ini.
Bopi cassia putra
Jambi, 30 Mei 2015