Oleh : Musri Nauli
Secara tidak sengaja, ketika penulis menyebutkan
berbagai Seloko, istilah dan nama-nama tempat, berbagai kata-kata digunakan
merujuk kepada istilah yang digunakan berbagai tempat yang berasal dari istilah
Jawa Kuno.
Untuk mengecek istilah, beberapa istilah yang dibahas
dapat merujuk kepada document, tutur yang dipraktekkan dalam sehari-hari di Jambi
yang terdapat didalam Kamus Indonesia – Jawa Kuno.
Di daerah Kecamatan Mersam dikenal “Paseban”. Paseban
merujuk kepada Marga Kembang Paseban. Marga Kembang Paseban berpusat di Mersam.
Paseban adalah nama tempat duduk singgasana. Tempat
kedudukan Raja. Sehingga tempat “paseban” adalah tempat kedudukan raja ketika “mengayuh”
perahu ke mudik. Menggunakan kapal khas Jambi yang dikenal “Kajang Lako”.
Tempat kedudukan Raja yang dikenal “Paseban” didalam masyarakat
Melayu Jambi dikenal dengan istilah “Pesanggrahan” atau “senggrahan”. Kata “Senggrahan”
terdapat didalam Marga Senggrahan.
Istilah Jawa Kuno, di berbagai tempat di Kabupaten
Merangin dan Kabupaten Bungo dikenal istilah “Rio”. Rio adalah Kepala Pemerintahan
setingkat Dusun (sekarang Desa).
Bahkan didalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007
kabupaten Bungo, istilah Desa diganti menjadi Dusun. Sedangkan Kepala Desa menjadi
Rio.
Tradisi pemberian gelar “Rio” masih sering dilakukan.
Dalam praktek sering dilakukan setelah sehari pelantikan kepala Desa.
Istilah “rio” juga dikenal di daerah “Ratu Sinuwun”
Kerajaan Palembang Darussalam. “Rio” dikenal dengan istilah “Kerio”.
Namun
Istilah “kerio” atau Krio menimbulkan perdebatan. Dalam buku “Jejak kesultanan
Palembang Darussalam di Kabupaten Banyuasin”, Jeki
Sepriady dan Muhamad Idris menggunakan istilah “Rie” atau “Rijo” untuk
jabatan setingkat Marga. “Rie atau Rijo kemudian digantikan dengan Pesirah.
Sedangkan didalam Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Musi Banyuasin, Pesirah
diberi gelar Depati
Berbagai istilah seperti “paseban” dan “Kerio/rio”,
menunjukkan berbagai istilah yang digunakan dalam Istilah Jawa Kuno.
Istilah Jawa juga dikenal didalam sejarah panjang
dalam ingatan masyarakat (memorial collective). Istilah
Jawa bisa saja merujuk kepada istilah “Mataram”. Sehingga tutur masyarakat yang
menyebutkan “berasal dari Mataram”, maka dapat merujuk kepada “berasal dari
Jawa’.
Berbagai Marga seperti Marga Senggrahan, Marga
Serampas mengaku berasal dari Jawa atau Mataram.
Marga Senggrahan mengaku
keturunan dari Sri Saidi Malin Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara
Siti Baiti dan Syech Raja. Syech Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap.
Sedangkan Siti Baiti “puyang” Marga Tiang Pumpung.
Istilah
Seh Bari” disebutkan oleh M.C. Richlefs didalam
buku master piece ““Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004”.
Di
Marga Serampas dikenal Depati Pulang Jawa (Peraturan Daerah Kabupaten Merangin
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT MARGA
SERAMPAS).
Sejarah Jambi juga menyebutkan Orang
Kayo Hitam yang menolak “upeti” untuk Mataram. Sebagai bukti kekuatan, maka Orang
Kayo Hitam kemudian membuat keris Siginjei. Berbagai buku seperti dituliskan M.
Nasir, S Budisantoso atau Mukti
Nasrudin menegaskan.
Selain masa Mataram, berbagai istilah
juga merujuk dalam masa Kerajaan Majapahit seperti “Depati”.
Bahkan menurut Kitab Negara Kertagama, wilayah
Sumatera dikenal sebagai istilah “Melayu”. Wilayah Melayu terdiri dari
Jambi, Palembang, Keritang (sekarang masuk kedalam Kecamatan Keritang,
Indragiri Hilir), Teba (ditafsirkan sebagai Muara Tebo, Jambi),
Darmasraya (dikenal sebagai Kerajaan Melayu Dharmasraya), Kandis (Tanjung
Jabung Barat), Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan (Rokan Hilir – Rokan Hulu),
Kampar.
“Depati” merujuk system Pemerintahan Dusun (Setingkat
Desa). Hingga sekarang gelar “Depati” masih dikenal di Kabupaten
Sarolangun, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo.
Prosesi pemberian gelar Depati kepada
Kepala Desa masih dilakukan hingga sekarang.
Jadi tidak dapat dipungkiri, sejarah panjang
Jambi dengan Jawa jauh sebelum berdirinya negara Indonesia. ( Andi Pramono / Andalasnews.com )