(Dosen IAIN KERINCI)
Pemuda adalah warga Negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 – 30 tahun (Pasal 1 UUD No. 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan).
Konstitusi ini mengisyaratkan kita bahwa pemuda dalam rentang waktu yang cukup produktif dituntut untuk menjadi bagian dari perubahan bangsa dan negara.
Dalam rentang waktu itu juga, pemuda diyakini berada di segala lini kehidupan sosial; politik, ekonomi, budaya dan lain-lain yang kesemuanya itu butuh pendidikan sebagai alat pengontrol.
WS Rendra pernah berkata “apakah pendidikan akan menjadi alat pembebasan atau akan menjadi alat penindasan”.
Pendidikan sebagai alat pembebasan sebenarnya telah terjadi, pada tahun 1928 para pemuda di seluruh penjuru tanah air berkumpul untuk mengusung satu konsensus yang dikenal dengan sumpah pemuda; bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan bahasa yang satu bahasa Indonesia.
Dibalik semangat kaum muda tersebut tersimpan kepentingan politik yang produktif, menyatukan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia kala itu.
Keterlibatan pemuda dalam realitas sosial sudah tak terbantahkan lagi, mereka punya peranan besar. Namun peran yang besar apa yang dimaksud?
Jika peran yang dimaksud adalah berlomba-lomba untuk menjadi Calon Legislatif, mungkin peran pemuda mesti ditelisik ulang. Sebab terasa peran pemuda dipusaran politik elektoral nyatanya jarang bahkan tak pernah melahirkan satu dimensi politik yang produktif.
Jika peran yang dimaksud berlomba-lomba untuk menjadi ketua dalam sebuah organisasi, mungkin peran disini mesti ditelisik lagi. Sebab, terlihat tubuh organisasi semakin rapuh.
Jika begitu? Apa yang harus dilakukan oleh para kaum muda sehingga rentang waktu umur 16 – 30 tahun betul-betul memberikan sumbangsih terhadap pembangunan sehingga tercipta tata kelola negara yang tak membuat rakyat pesimis terhadap hadirnya pemuda.
Pembangunan Demokrasi
Menurut Press Release of World Population day 2014: Seizing Opportunities of Young People in
Indonesia, UNFPA Indonesia tahun 2015.
Di Indonesia, generasi muda dengan rentang umur 16-30 tahun mencapai angka 62,3 juta (26.2%) dari total penduduk Indonesia pada tahun 2010 dan 64 juta (28%) di tahun 2013. Angka ini diproyeksikan meningkat ke angka 70 juta pada tahun 2035.
Banyak survey menyebutkan bahwa generasi muda adalah kelompok yang tidak banyak dilibatkan dalam proses pembangunan demokrasi.
Karena itu muncullah kritik tajam bahwa tidak ada satu sistem politik pun yang dapat mengklaim diri legitimate jika generasi muda diekslusi dan tidak dilibatkan dalam proses-proses demokrasi itu.
Tapscott mempopulerkan pengelompokan generasi berdasarkan kumpulan umur tertentu dengan karakteristiknya yaitu; 1) Generasi The Baby Boom, lahir antara tahun 1946-1964, 2) Generasi The Baby Bust, lahir antara tahun 1965-1976, keduanya dikenal dengan dikenal dengan sebutan generasi X. 3) Generasi The Echo of The Baby Boom, lahir antara tahun 1977-1997 dan dikenal dengan generasi Y; 4) Generasi Z, meliputi generasi yang lahir pada tahun 1998 hingga sekarang.
Karakter kuat generasi Y sangat lekat dengan model pilihan bebas, jejaring, kecepatan, integritas, menikmati percakapan yang menyenangkan, dan menjadikan inovasi sebagai bagian kehidupan mereka.
Generasi ini sering disebut juga sebagai net generation karena sangat intens berinteraksi melalui kanal media daring, online, seperti media sosial.
Namun menurut Strauss (2000) dibandingkan dengan generasi baby boom, kesadaran politik yang ditampilkan generasi Y hanya berlaku di permukaan, tidak sampai mendalam.
Hal ini dikarenakan adanya pengaruh media yang begitu masif telah memengaruhi secara signifikan arah perilaku politik generasi Y.
Di era modern saat ini, ada tantangan besar bagi pemuda dalam mengkampanyekan pendidikan politik yang penulis urai kedalam tiga unsur yaitu, politik transaksional, pelemahan terhadap demokrasi dan korupsi.
Uraian diatas menjadi ketakutan bersama di segala elemen masyarakat.
Fenomena ini menakutkan tapi terjadi, proses pembangunan demokrasi dianggap sebagai tanggungjawab para kaum muda bukan justru memasifkan gerakan tersendiri sebagai upaya terhadap pelemahan demokrasi.
Ini penting untuk dilacak, apa yang diungkapkan Strauss bahwa hingga hari ini memasuki zaman generasi millennial yang dianggap sebagai bonus demografi tak memunculkan kesadaran politik yang mendalam.
Sebab, jika di kepala kita tersimpan pernyataan bahwa pembangunan politik yang berkeadaban adalah terlibat pada wilayah politik elektoral maka apa yang telah dicita-citakan para kaum muda pada 28 Oktober 1928 lalu jelas tereduksi di tahun 2019 sekarang ini.
Kita tak mengharapkan itu, yang kita harapkan hari ini adalah bagaiman idealisme, gagasan serta wacana yang telah dipelajari oleh kaum muda menjadi satu kesatuan dalam mengawal, menjaga dan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara.
Menghilangkan segala bentuk eo-kolonialisme, menghapus ketimpangan sosial dan tetap amanah pada penderitaan rakyat.
Olehnya itu, membangun politik yang berkeadaban adalah salah satu dimensi upaya kaum muda dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan serta memaksimalkan isi dalam Pasal 1 UUD No. 40 Tahun 2009.
Akhir kata, pembangunan demokrasi yang paripurna, tata kelola negara yang produktif menjadi tanggungjawab penuh oleh kaum muda. Karena semangat kaum muda itu ditantang bukan dibuat nyaman.(*)